Breaking News
Loading...
Jumat, 31 Mei 2013

Dengan mengonsumsi produk organik, ia yakin kondisi masa depan akan lebih sehat lagi.

YOU are what you eat merupakan i diom yang tidak asing lagi dalam beberapa tahun terakhir, yang menyadarkan banyak orang untuk hidup sehat dari makanan.
Namun, hal itu sudah lama dilakukan Bibong Widyarti Djaprie, 50, sebelum kalimat itu dipopulerkan awal milenium ke-3.

Sejak kecil, kata Bibong, kedua orangtuanya mendidik hidup sehat dan bersinergi dengan alam. “Panggilan untuk cinta lingkungan itu udah dari SD, kalau dulu di rumah yang suka nanem ya saya,” ujar Bibong membuka pembicaraan dengan Media Indonesia ketika ditemui di kediamannya di kawasan Depok, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.

Ketika SMA, Bibong berperan aktif mendirikan kelompok pecinta alam di sekolahnya. Meski tubuhnya kecil, itu tidak mengurungkan niatnya berkegiatan di kelompok pecinta alam. Kecintaannya akan alam, khususnya tanaman organik, semakin tersalurkan ketika masuk Institut Pertanian Bogor (IPB). Selama menempuh pendidikan di IPB, ia menyadari banyak sayuran dan buah-buahan yang dijual di pasar tercemar sisa pestisida. Awal 1990, setelah kelahiran putranya, ia mulai mengonsumsi produk organik, karena tidak ingin anaknya terkontaminasi pestisida itu kelak.

Kebiasaan itu bertahan hingga kini. Ia pun menanam sendiri sayurannya di pekarangan rumah.

Tampak beragam pot dan kotak berisikan tanaman dan kecambah, seperti cabai, rapi tersusun.

“Kemarin saya baru aja beres panen, sekarang mulai dibibitin lagi,“ ujarnya memperlihatkan tanamannya.

Kebiasaan Bibong mengaku banyak orang yang malas memulai hidup organik dan menganggap sebagai pemboros an, karena harganya mahal.
Tapi, ia berpendapat hidup organik mudah diterapkan di keluarga.

“Dari saya kecil ibu bapak saya memang enggak mengonsumsi MSG (monosodium glutamate), bibi di rumah dulu juga menyediakan makanan apa adanya,“ kenang ibu dua anak itu akan kebiasaan yang diterapkan keluarganya sejak kecil.

Sukses menerapkan pola hidup organik di keluarganya, Bibong terpacu menularkan gaya hidup sehat itu ke orang lain. Tahun 1999 ia menyosialisasikan ke orang terdekatnya, dari RT, RW, kelompok agama, termasuk dialog nasional tentang hidup organik. Tak ketinggalan, penyuluhan ke petani tentang memproduksi pangan organik.

Bibong mengaku banyak ibu rumah tangga yang tidak paham tentang pola hidup sehat. Sehingga secara tidak sadar telah meracuni masa depan anak mereka. Misalnya, mengonsumsi buah yang ditanam dengan cara nonorganik, atau disemprot pestisida guna melindunginya dari hama. Tapi sisa cairan kimia itu akan menempel di buah. Padahal pestisida itu bisa menyebabkan kanker dan gangguan pada janin bagi ibu hamil.

Bibong mengaku sempat kesulitan mengajak orang untuk hidup karena terbentur dengan biaya dan keterbatasan pasokan. Tapi ia tidak patah arang, ia membujuk dan memberikan solusi lokasi penyediaan produk organik yang murah.

Di pasaran, produk organik diakui Bibong masih terbatas. Pasalnya, biaya produksinya mahal dan tergantung musim panen. Tapi, hambatan itu bukan batu sandungan bagi ia dan keluarga untuk konsisten hidup organik.

Sebaliknya ia menilai, tidak salah mengikuti siklus tumbuh alami sayuran atau buah, karena cita rasa dan kesegarannya lebih tinggi dibandingkan yang hasil rekayasa.

“Yang saya bilang nilai sangat plusnya itu adalah kesegarannya. Kalau buah-buah yang di pasar itu biasanya diperem, diambil mentah. Di organik enggak, bener-bener mateng dari pohon,“ ungkap Bibong.

Selain kesegarannya, kata Bibong, hasil alam yang dibudidayakan secara organik bebas dari hormon dan bahan kimia. Sehingga nutrisi yang terkandung lebih tinggi.

“Vitamin C jelas lebih tinggi.
Antioksidan dan betakaroten menurut hasil penelitian juga jauh lebih tinggi daripada produk nonorganik,“ paparnya.

Tak hanya menjadi produk yang sehat pada manusia, lanjut Bibong, produk organik juga ramah pada lingkungan. “Kita bisa menekan sampah, tidak meninggalkan jejak karbon, sisa-sisa pestisida, sisa-sisa hormon, itu yang paling utama,“ jelas Bibong.
Langsung ke petani Pecinta kucing itu telah dua dekade menjaga kesinambungan nutrisi keluarganya dengan produk organik. Kuncinya ialah simbiosis mutualisme dengan petani organik.
Melalui kerja sama dengan petani, ia bisa mengakali harga mahal dari berbagai toserba itu.

Bila ditelisik, sebenarnya harga produk organik dari petani nya tidak terlalu jauh beda dengan produk pertanian nonorganik di pasaran. Selisihnya sekitar Rp3ribu.
Harga mahal itu, kata Bibong, karena dominasi pihak toserba dalam menentukan harga jual pada konsumen, yang kebanyakan ibu rumah tangga. Karena itu, Bibong memilih berhubungan langsung dengan petani agar harga produk masih bisa ditekan.

“Ada penentuan harga yang berkeadilan di sana. Buat petani bisa menghidupi mereka, buat kita bisa lebih terjangkau,“ ujarnya.

Keistimewaan untuk menghubungi petani organik langsung seperti yang dilakukan Bibong, tidak dimiliki orang lain. Hal itu juga disadari oleh Bibong. Apalagi banyak kenalannya yang mulai menerapkan hidup organik, terbentur akses dan ketersediaan pangan organik.

Misalnya mereka kesulitan mendapatkan beras organik. Guna mengatasi hal itu, Bibong mengajak teman-temannya untuk patungan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing keluarga.

“Untuk daerah Depok ini saya jadi pick-up point-nya, siapa yang mesen nanti dijadiin satu. Harga pun jadi jauh lebih murah,“ terang Bibong.
(*/M-1) thalatie@mediaindonesia.com

Biodata
Nama lengkap: Bibong Widyarti Djaprie, Ir
Tempat, tanggal lahir: Bandung, 13 Juli 1962
Status: Menikah, dikaruniai 2 putra
Pendidikan: · Sarjana Aquaculture, Institut Pertanian Bogor · Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Teladan, Jakarta · Sekolah Menengah Pertama Trisula, Jakarta · Sekolah Dasar Budi Asih, Jakarta
Pekerjaan: · 2012-­sekarang, Leader Training Tim Pertanian Berkelanjutan Mitra Rumah Organik · 2011­-sekarang, Presenter IESR (Institut for Essential Service Reform) · 2011-­sekarang, Trainer Zakia Management Center · 2000­-sekarang, Yayasan Alifa, Pusat Pelatihan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga · 1997-­sekarang, Yayasan Manusia Efektif Indonesia, Pusat Pelatihan Pengembangan Pribadi Organisasi: · Founder Rumah Organik, 1997-­sekarang · Ketua Harian Yayasan Alifa, pe riode 2004­-sekarang · Sekretaris Jenderal Jaringan Masyarakat untuk Perubahan Iklim (JAMPI), periode 2008­-sekarang · Leader Convivivum Slow Food Jabodetabek, Jakarta, periode 2012-2016 · Dewan Perwakilan Anggota (DPA) Aliansi Organis Indonesia periode 2011­-2014 · Pendiri Masyarakat Peduli Petani Organik (MPPO) dan Sekretaris Jenderal Masyarakat Peduli Petani Organik periode 2009-­2011
Buku: Hidup Organik: Panduan Ringkas Berperilaku Selaras Alam, 2010 WI

============

Lerak Pengganti Deterjen


“YANG penting awetnya panjang, walau cost yang dikeluarkan agak tinggi sedikit,” ujar Bibong Widyarti Djaprie mengenai penggunaan produk organik.
Orang yang memakai produk organik, kata Bibong, akan melihat efeknya pada masa depan.

Organik ialah organis, layaknya organ tubuh.

Bila salah satu terluka, organ tubuh yang lain akan merasakan dampaknya. Prinsip itu pun diterapkan Bibong pada bumi secara keseluruhan. Hal itu yang menjadi dasar baginya untuk hidup organik.

Pola organik yang diterapkannya tidak semata soal makanan. Ibu rumah tangga yang telah menerbitkan buku berjudul Hidup Organik: Panduan Ringkas Berperilaku Selaras Alam itu telah meninggalkan kebiasaan memakai produk cairan pembersih dari industri kimia.

Pasalnya limbah deterjen yang disisakan sangat sulit untuk diuraikan bakteri. Akibatnya, sisa deterjen mengendap dan menjadi polusi bagi kelayakan air.

Untuk bahan cuci, Bibong menciptakan ramuannya sendiri yang ramah lingkungan. Salah satunya dengan menggunakan cairan hasil fermentasi biji lerak.

Biji lerak mengandung saponin yang menghasilkan busa dan berfungsi sebagai bahan pencuci.

Selain bisa membersihkan kain, lerak dapat dipakai untuk membersihkan berbagai peralatan dapur dan lantai. “Saya hanya menghabiskan 4 kilo lerak dalam setahun untuk mencuci pakaian keluarga,” terang Bibong.

Alternatif menggunakan cairan dari biji lerak juga ampuh untuk membersihkan kuman-kuman yang ada di kucing-kucing peliharaannya. Dengan memanfaatkan lerak, limbah deterjen bisa dikurangi dan tidak mencemari air. Selain itu, tentu saja biaya pengeluarannya lebih sedikit jika dibandingkan dengan membeli deterjen. (*/M-5)





Next
This is the most recent post.
Posting Lama

0 komentar:

Posting Komentar