Breaking News
Loading...
Jumat, 31 Mei 2013

KIPRAHTOKOH - Meski dipandang sebelah mata, ia tetap menjalankan rencana teraseringnya dan meninggalkan cara ladang berpindah.

PULUHAN tahun wilayah Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, merupakan kawasan perbukitan yang tandus. Pepohonan di kaki Pegunungan Meratus itu habis dibabat warga yang menerapkan sistem bertani ladang berpindah.
Namun, cara berpindah untuk menanam padi dan palawija itu tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan petani. Lahan pertanian menjadi tandus dan tidak subur.

Cara bertani itu membuat jenuh Madroji, 54, petani Desa Mangkauk, Kecamatan Pengaron. Ia melihat budaya ladang berpindah yang digeluti warga secara turun-menurun itu semakin memperkecil area pertanian. Hal itu berdampak pada tingkat kesuburan lahan yang dipergunakan. Selain itu, kontur tanah perbukitan yang curam menimbulkan masalah erosi dan tanah longsor. Itu pun menjadi kendala dalam bercocok tanam.

Meski hanya mengecap pendidikan sekolah dasar (SD), ia ingin menghentikan tradisi turun-temurun itu. Ide bertani dengan sistem terasering pun muncul dalam pikirannya.

“Dulu lahan di wilayah perbukitan ini tandus. Tapi berkat usaha bersama dan kerja keras warga, kini menjadi subur,“ ujar Madroji kepada Media Indonesia di Kalimantan, beberapa waktu lalu.

Kala melihat kondisi lahan yang miring, Madroji menilai cara terasering memang cocok untuk Kecamatan Pengaron. Pada 1990, Madroji mulai bertani dengan cara itu. Awalnya coba-coba di lahan seluas 1 hektare (ha) miliknya. Hasilnya jauh lebih baik daripada ladang berpindah.

Secara perlahan, penghasilannya dari bertani secara terasering mengalami peningkatan. Seiring dengan peningkatan itu, pemerintah daerah mulai memperhatikan upayanya dan memberikan kesempatan untuk mendapatkan pelatihan pemanfaatan lahan kering di Bogor, Jawa Barat.

Berbekal pelatihan itu, FOTO-FOTO: DENNY SAPUTRA Madroji mulai mengembangkan sistem bercocok tanam di lahan perbukitan tersebut dengan membuat teras-teras dan drainase untuk mengalirkan air. Selain mengalirkan air untuk lahan bercocok tanamnya, cara itu bisa mengurangi erosi dan longsor yang kerap terjadi.

Atasi tandus Secara perlahan tapi pasti, sistem bertani yang dikembangkan Madroji mulai menunjukkan hasil. Hal itu membuat para petani di kawasan itu mulai melirik dan mengikuti jejak Madroji. Mereka mulai menanam padi, jagung, dan kacang dengan sistem terasering.

Keberanian Madroji untuk memulai hal yang berbeda dengan warga lain tidak lepas dari dukungan keluarganya.
Keluarganya mendukung keputusannya untuk tidak lagi berladang secara berpindah. Pasalnya hasil panennya lebih baik dan mereka bisa memanfaatkan lahan secara maksimal. Dengan menanam aneka pohon buah di tanggul yang juga berfungsi sebagai penahan erosi.
Tidak berhenti di situ. Keberhasilan bertani dengan sistem terasering mela hirkan ide baru bagi Madroji dan warga lain. Mereka sepakat untuk merehabilitasi kawasan perbukitan yang kritis dan tandus.

Sejak 1990, Madroji mulai membentuk kelompok tani. Kelompok itu diberi nama Kelompok Tani Alam Subur.

Di tahun itu mereka mulai menanam sejumlah pohon keras di areal seluas 50 hektare. Di antaranya sengon, angsana, mahoni, ketapang, jabon, karet, serta jati. Hingga kini, luas kawasan perbukitan yang telah direhabilitasi warga setempat mencapai 200 ha.

Bahkan, sejumlah perusahaan tambang batu bara yang banyak beroperasi di kawasan tersebut ikut bekerja sama dengan Madroji dan kawan-kawan untuk mereklamasi areal pascatambang, seluas lebih dari 400 ha.

Tidak saja menuntaskan masalah kekeringan, warga setempat akhirnya bisa menyudahi masalah air bersih.

Mereka memanfaatkan mata air dari bukit dengan menggunakan pipa. Pipa tersebut disambungkan ke puluhan rumah warga sehingga mereka tidak perlu menempuh jarak jauh untuk mendapatkan air bersih.

Kelompok Tani Alam Subur yang dikelola Madroji juga mempunyai lahan pembibitan lengkap dengan peralatan pembuatan pupuk organik. Bibit dan pupuk itu dijual ke perusahaan tambang dan masyarakat luas. “Hasilnya bisa menambah pemasuk_an untuk anggota kelompok tani,“ ujarnya.

Upaya yang dilakukan Madroji kini berbuah manis. Lahan tandus sudah berubah menjadi hijau dan subur, termasuk memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat.

Berkat dukungan dari berbagai pihak, termasuk Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Banjar, Desa Mangkauk juga memiliki mesin pembuat biogas. Kini, sudah berdiri lima kelompok tani di Desa Mangkauk dan desa-desa sekitar kawasan perbukitan di kaki Pegunungan Meratus.

Perjuangan Madroji memulihkan lingkungan diganjar sejumlah penghargaan tingkat kabupaten, provinsi, hingga nasional. Pemkab Banjar mengusulkan Madroji menjadi salah satu calon penerima penghargaan tertinggi bidang lingkungan, yaitu Kalpataru, kepada pemerintah pusat. (M-5) denny_susanto @mediaindonesia.com

Biodata
Nama: Madroji
Tempat, tanggal lahir: Mangkauk, 31 Desember 1958
Istri: Sumriah
Anak: · Siti Rohmah · Mohofi · Ridoi · Subainah · Syaifudin · Norhofifah · Mahfud · Aliansyah
Pendidikan: SD, Kejar Paket C dan B
Penghargaan: · Piagam Kader Usaha Tani Menetap Tingkat Nasional dari Menteri Kehu tanan dan Perkebunan (1999) · Piagam dari Bupati Banjar pada Peringatan Hari Lingkungan Hidup (2010) · Diusulkan memperoleh Kalpataru oleh pemerintah kabupaten tahun 2013

Dimuat di Media Indonesia, Jumat 31 Mei 2013.

Posting Lebih Baru
Previous
This is the last post.

0 komentar:

Posting Komentar